http://www.facebook.com/inbox/readmessage.php?t=1242582057809#/note.php?note_id=168765204702
Monday, October 5, 2009 at 11:41pm
Saya baru saja melihat bagian akhir dari sebuah wawancara sebuah stasiun TV dengan Imam Prasojo. Sepotong saja, memang. Antara lain Imam mengkritik soal ‘mapping’ yang tidak dilakukan oleh pengurus negeri ini pada ‘menit-menit’ pertama terjadinya bencana alam. Akibatnya tidak bisa disusun langkah-langkah penanganan bencana berdasarkan skala prioritas. Bantuan berupa sukarelawan, peralatan, makanan, minuman, obat-obatan menjadi bertumpuk di titik-titik tertentu. Bayangkan, upaya pengadaan air bersih dan alat-alat telekomunikasi (satelit) baru dikerjakan satelah 4 hari bencana oleh orang-orang dari negeri lain. Bahkan hingga hari ke-5, menurut laporan media TV (yang juga baru bergerak ke pelosok) sebagian besar wilayah bencana belum disentuh oleh bantuan yang seharusnya prioritas utama, seperti air minum, makanan dan obat-obatan. Memangnya kita harus berharap pada siapa lagi untuk memberikan bantuan seperti itu jika terjadi bencana alam dengan skala besar seperti ini, kalau bukan pada pemimpin yang sudah kita pilih?
Ada ungkapan terkenal, yaitu: “hanya keledai yang terperosok dua kali pada lobang yang sama”. Jika SBY adalah orang yang paling diharapkan di negeri untuk memimpin bala bantuan ke wilayah bencana, maka ia adalah keledai! Bahkan kesalahan yang dibuatnya lebih dari dua kali sejak bencana alam Aceh, gempa Jogya, gempa TasikMalaya dan gempa Sumatera Barat.
Mungkin orang menilai saya sebagai orang yang cuma bisa mencaci dan menyebut keburukan pemimpin di negeri ini. Mudah-mudahan tidak begitu, karena saya cuma berusaha memberi kritik dan saran agar negeri ini bisa lebih baik diurus oleh pemimpin yang ada sekarang atau yang sudah kita pilih sekarang ini dan oleh pemimpin yang akan kita pilih nanti, meski kadang dengan bahasa yang kasar dan mencaci. Bagi saya diam adalah sebuah dosa, ketika saya tahu ada langkah yang seharusnya diambil oleh pengurus negeri ini namun tidak diambil. Kebanyakan orang mungkin malas memikirkan apakah pengurus negeri ini sudah mengambil langkah yang benar atau tidak. Sehingga nampak bagi mereka apa yang dilakukan pengurus negeri ini sudah benar. Lihat saja bagaimana jalan raya di kota-kota besar dikelola. Meski jalan selalu berlubang atau lampu lalu-lintas banyak yang mati, tetapi kebanyakan orang tidak merasa itu sebuah kesalahan dalam pengelolaan jalan raya. Mungkin juga mereka berpikir bagaimana mungkin menilai kwalitas kerja penanganan bencana alam itu hanya dari media saja. Padahal menurut saya, jika setelah 2 hari bantuan belum datang, berarti ada yang salah dengan SOP-nya, atau bahkan nggak punya SOP? Padahal paling tidak sudah terjadi 3 kali bencana gempa bumi besar di negeri ini dalam 5 tahun terakhir ini. Kemana aja lu, jenderal?
Saya sudah menulis ‘cacian’ saya beberapa hari setelah bencana gempa dan tsunami Aceh di akhir tahun 2004 lalu (saat itu SBY baru terpilih menjadi presiden negeri ini). Meski pun belum pernah ada bencana alam sebesar Aceh di Indonesia, namun kisah-kisah bencana alam di negeri-negeri lain bukan soal yang asing lagi. Ini berkat teknologi media, terutama elektronik. Dalam dua hari setelah bencana, terlihat ada langkah yang kurang tepat jika dibandingkan penanganan bencana di negeri lain yang saya lihat melalui media televisi. Saya kira penanganan yang benar pada sebuah bencana alam bukan soal apakah negeri itu modern atau tidak, kaya atau tidak, berpengalaman dalam soal bencana atau tidak, tetapi ini adalah soal moral. Kalau lu nggak punya moral, maka lu pikir menyerahkan pusat komando upaya penanganan bencana pada orang yang sedang ditimpa bencana adalah sebuah langkah yang baik atau benar. Padahal orang yang tidak ditimpa bencana akan jauh lebih baik dan bisa melakukan upaya yang maksimal. Itu yang disebut tidak mampu mengelola resources yang ada.
Saya yakin atau saya tidak ragu untuk mengatakan, bahwa mengurus soal bencana alam adalah ‘gampang’, karena ini soal yang kelihatan. Apalagi pada saat terjadi bencana alam, sebagian besar orang bersatu untuk membantu korban dengan berbagai cara. Seharusnya menangani bencana alam jauh lebih mudah daripada menangani bencana sosial, ekonomi atau pun politik. Jadi kalau menangani bencana alam saja sudah morat-marit, bagaimana menangani bencana yang lain yang ‘kurang kelihatan’?
Sebaiknya nama negeri ini diganti saja dulu menjadi Negeri Morat-marit, hingga nanti kita memilih pemimpin baru yang lebih bermoral.
Sunday, November 01, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment